Interferensi Morfologis Bahasa
Indonesia
dalam Bahasa Jawa pada Buku
Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi
Disusun Guna memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : Prembayun
Miji Lestari
Disusun oleh :
Charisfa Nuzula
2601411142
Rombel 5
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu
kegiatan sosial (Kongres Bahasa, 1978:276). Dalam kegiatan ini dikirim dan
diterima lambang-lambang yang mengandung arti. Pemberian arti perlu “sama” agar
pengirim lambang (komunikator) dan penerima lambang (komunikan) mengerti satu
sama lain sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan dengan baik. Komunikasi
dapat melibatkan beberapa aspek. Alwasilah (1989:8) menyatakan “komunikasi
sebagai suatu proses melibatkan (1) pihak yang berkomunikasi, (2) informasi
yang dikomunikasikan, (3) alat komunikasi”. Tidak ada komunikasi yang tidak
melibatkan ketiga aspek di atas dan sesungguhnya manusia tidak akan terlepas
dari ketiga aspek tersebut. Dalam proses
komunikasi digunakan bahasa sebagai pengantar.
Bahasa merupakan suatu alat untuk
mengungkapakan apa yang ada dipikirannya. Bahasa digunakan untuk menunujukan
peran dalam lingkungan.Oleh karena itu, bahasa merupakan alat pemersatu sosial.
Suatu msayrakat tidaklah mungkin dapat saling berinteraksi tanpa adanya bahasa.
Bahasa memang salah satu ciri paling khas yang manusiawi yang
membedakannya dari mahluk-mahluk lain (Nababan, 1984:1). Secara tradisional
bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti
alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan
Agustina, 1995:19). Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai
alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk
menyampaikan pikiran.
Indonesia merupakan negara yang wilayahnya sangat
luas, penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa
daerah serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena alasan
tersebut, Indonesia disebut negara yang kaya akan budaya. Salah satu di antara
kekayaan budaya Indonesia adalah adanya bahasa daerah. Berdasarkan peta bahasa
yang dibuat oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, ada sekitar 726 buah
bahasa daerah dengan jumlah penutur setiap bahasa berkisar antara 100 orang
(ada di Irian Jaya) sampai yang lebih dari 50 juta (penutur bahasa Jawa) (Chaer
dan Agustina,1995:294). Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah dengan
jumlah penutur yang besar, hal ini dapat
dilihat dari bahasa Jawa yang digunakan di daerah Jawa Tengah, DIY dan Jawa
Timur kecuali Madura. Bahasa Jawa termasuk dari sekian banyak bahasa daerah
yang mendukung keutuhan dan kelanjutan kehidupan kebudayaan Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang
bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam
berkomunikasi. Dalam proses komunikasi masyarakat Indonesia menguasai bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa daerah masing-masing. Kedua
bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan,
baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya
kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada
pemakaian bahasa Jawa
yang disisipi oleh kosa kata bahasa Indonesia
tau lainnya.
Buku merupkan salah asatu media cetak paling efektif utuk
menyampaikan gagagsan. Buku memiliki kekuatan persuasif untuk mengarahkann
opini publik sesuai yang diinginkan penulis. Buku berbhaasa Jawa sampai
sekarang ini masih terbatas jumlahnya, kurangnya media ini juga mempengaruhi
masyarakat dalam berpikir. Buku Wong Jawa
Kok (ora) Ngapusi karya Sucipto Hadi
Purnomo merupkan salah satu buku berbahasa Jawa yang mmapu mempengaruhi pembahaca
karena bukunya bersifat essay. Penulis buku ini juga merupakan seorang mantan
awratawan yang pastinya menggunkana kaidah-kaidah pencarian fakta dalam
penulisannya.
Penulis yang merupkan dosen bahasa Jawa tapi sekaligus
orang Indoonesia, tak ayal dalam proses penulisan buku ini juga memasukkan
bahasa Indonesia dalam bukunya. Adanya pemsukkan unsur bahasa Indonesia dalam
buku ini tidak bermaksud untuk merusak bahsa, anamun untuk mempermudah
penyamoaina informasi sebagai tujuan dari komunikai.
Interferensi
merupakan fenomena penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang
menguasai dua bahasa atau lebih. Suwito (1983:54) berpendapat bahwa
Interferensi sebagai penyimpangan karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa
sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Jadi, manifestasi penyebab
terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa
tertentu.
Dari segi kebahasaan, interferensi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu interferensi bentuk dan interferensi arti. Menurut Soepomo
(1982:27) “Interferensi bentuk meliputi unsur bahasa dan variasi bahasa,
sedangkan interferensi bahasa meliputi interferensi leksikal, morfologi, dan
sintaksis”. Pembahasan tentang interferensi sangat luas cakupannya, namun dalam
penelitian ini hanya akan dibahas tentang interferensi morfologi dan sintaksis Bahasa Indonesia dam Bahasa Jawa pada buku Wong Jwa Kok (ora) Ngapus karya Sucipto Hadi
Purnomo.
Buku ini merupakan kumpulan essay yang berisi kritikan
sosial terhadap permasalahan yang sedang aktual di kalangan “orang Jawa”. Pada
buku ini dijumpai interferensi bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa. Contohnya
sebgai berikut :
Hal 38 : Ora mokal yen jroning Lembaran sejarah Jawa akeh bange cathetan ngenai para calon raja
sing kudu nemahi cintraka...
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
mengangkat penelitian dengan judul “Interferensi Morfologis dan Sintaksis
Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa pada
Buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas penulis menguraikan masalah yang akan dibahasyaitu.
1.
Bagaimana Interferensi morfologis pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi?
2. Bagaimana yang melatrbelakangi pemasukkan bahasa
Indonesia ke dalam buku Wong Jawa Kok
(ora) Ngapusi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.
mendeskripsikan Interferensi morfologis pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi.
2. mendeskripsikan yang melatarbelakangi pemasukkan
bahasa Indonesia ke dalam buku Wong Jawa
Kok (ora) Ngapusi?
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu
menambah pengetahuan baru pembaca tentang adanya peniyimpangan bahasa terutama
interferensi morfologis dan sintaksis yang terdapat pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi.
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan manfaat secara nyata untuk umum baik untuk guru, pelajar, dosen dan
lainnya. Diharapkan mereka dapat mengetahui intrferensi yangada pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi serta mmapu
menjadikannnya pelajaran kan dampak negtif perusakan bahasa tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Kajian Teori
Penelitian tentang interferensi sangat penting,
terbukti dikenal beberapa peneliti yang mulai menulis sejak tahun 1950 seperti
Weinreich, Haugen, Ferguson, Mackey, Lado, dan Richard. Di Indonesia,
penelitian interferensi pertama dilakukan oleh Rusyana (1975). Dalam
penelitiannya yang berjudul “Interferensi
Morfologi pada penggunaan bahasa Indonesia oleh Anak-anak yang Berbahasa
Pertama bahasa Sunda Murid sekolah dasar Daerah Propinsi Jawa Barat,
kemudian dilanjutkan oleh Ridjin dkk. (1981), Huda (1981), Abdulhayi (1985),
Parwati (1985), serta Denes dkk. (1994).
Penelitian tentang interferensi juga pernah
dilakukan di fakultas Sastra Universitas Diponegoro oleh Murdianingsih (2004)
dan Mahar Pramudya (2006). Penelitian dilakukan oleh Murdianingsih dalam skripsinya
yang berjudul “Interferensi Bahasa Jawa
dalam Bahasa Indonesia pada Rubrik “Gayeng Semarang” di Surat Kabar Suara
Merdeka”. Penelitian ini mengkaji masalah interferensi bahasa Jawa dalam
pemakaian bahasa Indonesia dalam tataran leksikal yang meliputi interferensi
monomorfemis dan polimorfemis. Interferensi bentuk monomorfemis meliputi kelas
kata Verba, Nomina, Adjektiva, Adverbia dan kata tugas. Sedang interferensi
bentuk polimorfemis meliputi kata berafiks, bentuk ulang atau reduplikasi dan
bentuk kata majemuk (2004:31-53).
Dalam penelitian ini diketahui adanya faktor
penyebab terjadinya interferensi yaitu karena adanya unsur kesengajaan penutur
agar setiap tuturannya lebih dipahami oleh pembaca dan fungsinya untuk
menghidupkan tuturan sehingga tidak terkesan kaku (2004:53-54).
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Mahar Pramudya
membahas tentang “Interferensi Gramatikal
Bahasa Melayu Bangka dalam Pemakaian Bahasa Indonesia: dengan Data Rubrik “Mak
Per dan Akek Buneng” dalam Surat Kabar Bangka Pos”.
Dalam penelitiannya ditemukan beberapa peristiwa
yang terjadi pada bidang morfologi afiksasi dan reduplikasi, sedangkan
interferensi sintaksis ditujukan pada kontruksi kalimat bahasa Melayu Bangka
yang tidak lazim jika diterjemahkan atau dipakai saat berbicara dengan penutur
yang berbahasa Indonesia (2006:36-66).
Dari penelitian-penelitian di atas, penulis ingin
melengkapi penelitian yang sudah ada tentang interferensi bahasa Jawa terhadap
pemakaian bahasa Indonesia, namun tidak hanya dalam tataran leksikal saja
tetapi juga tataran morfologis dan sintaksis
2.2 Landasan Teoritis
Penelitian
ini menggunakan beberapa teori diantaranya teori kontak bahasa, kedwibahasaan,
dan interfrensi.
a.
Kontak Bahasa
Masyarakat erat kaitannya dengan bahasa
karena masyarakat dalam berinterakasi aatu berkomunikasi menggunakan bahasa
sebagai sarananya. Kajian yang mengkaji hubungan antara masyarakat adan bahasa
adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu interdispliner yang
mempelajari bahasa erat kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam
masyarakat.
Chaer dan Agustina (1995:4) mengatakan
sosiolinguistik yaitu pengkajian bahasa (linguistik) sebagaimana bahasa itu
berada dan berfungsi dalam masyarakat (sosiologis). Dengan demikian,
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.
Sementara suwito (1985:2) mengungkapkan bahawa
sosiolinguistik merupakan penunjuk adanya bahasa dan pemakaian bahasa dengan
peristiwa-peristiwa sosial. Bhasa dan peristiwa bahasa merupakan kajian studi
linguistik, sementara peristiwa-peristiwa masayarakat termasuk kajian bidang
sosiologi.
Rokhman (2008 :4) juga mnengkaji sosiolinguistik sebgai
ilmu interdispliner. Istilahnya menunjukkan bahwa ia terdiri atas bidang
sosiologi dan lingustik. Dalam istilah sosilolinguistk kata sosio adallah aspek
utama dalam penelitian dana merupakan ciri umum bidang tersebut.
Nababan menambahkan bahwa pemakaian bahasa tidak
hanya dipengaruhi oleh linguistik dan nonlinguistik, tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor situasional. Adapun yang termasuk dalam faktor situasional adalah
siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dalam situasi yang bagaimana, dengan
tujuan apa, dengan jalur apa dan ragam bahasa mana, atau disingkat SPEAKING
(Dell Hymes dalam Nababan, 1984). Adanya faktor situasional dan sosial yang
mempengaruhi pemakaian bahasa maka timbullah variasi bahasa.
Kontak Bahasa merupakan asalah asatu yang dipeajari dalam
sosiolinguitik. Seorang penutur yang mengusai lebih dari satu bahasa
(kedwibahasaan) lebih berpeluang untuk terjadinya kontak bahasa. Interferensi
juga merupakan salah satu dampak adanya kontak bahasa.
Apabila ada dua bahasa atau lebih digunakan secara
bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahasa-bahasa tersebut
dalam keadaan saling kontak. Sebagai contoh, adanya kontak bahasa antara bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur bahasa Jawa. Kontak
bahasa terjadi dalam diri penutur. Individu tempat terjadinya kontak bahasa
disebut dwibahasawan, sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih
secara bergantian oleh seseorang disebut kedwibahasaan (Weinreich dalam Suwito,
1983:39).
Diebold dalam Suwito (1983:39) menjelaskan bahwa
kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi dimana
seseorang belajar bahasa kedua dalam masyarakat. Pada situasi seperti itu dapat
dibedakan antara situasi belajar bahasa, proses perolehan bahasa dan orang yang
belajar bahasa. Dalam situasi belajar bahasa terjadi kontak bahasa, proses
pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan (bilingualisasi) serta orang
yang belajar bahasa kedua dinamakan dwibahasawan. Kontak bahasa cenderung
kepada gejala bahasa (langue),
sedangkan kedwibahasaan cenderung sebagai gejala tutur (parole).
Jadi jelaslah bhawa
kontak bahsa merupakan gelajala perssentuhan bahhasa yang ada dalm masyrakat
yang memungkinkan adanya pergantian penggunaan bahasa atau penggunaan bahasa
yang bervariasi.
b. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan merupakan
penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam pergaulannya.
Chaer (1997: 84) menyebutkan bahwa secara sosiolingustik, bilingualisme
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oelh seorang penutur dalm pergaulannya
dengan orag lain secra bergantian. Untuk
menggunkan dua bahasa itu seorang penutur harus menguasai keduanya, yitu bahasa
inu (B1) dan bahasa kedua (B2).
Bloomfield dalam Suwito
(1985) merumuskan bahwa bilingualisme sebgai native-like- control of two languages.Sedang Halliday meneybeutnya
sebagi ambilingualism. Equilingism oleh Oksaar dan coordinate bilingualism oleh Diebold.
Perluasan
pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1985:41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai
tahu dua bahasa (knowledge of two
languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak
harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila ia mengetahui
secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian
kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi
pengetahuan tentang bahasa.
Kasus kedwibahasaan
mislanya pada keluarga Jawa yang bahasa ibnya adalah bhasa Jawa. Namun ketika
di sekolah dalam berinteraksi harus menggunakan bahasa indonesia, bukan karena
mereka malu menggunakan bahasa Jawa,tetapi karena sistem menharuskan.Sebaliknya
keluarga Jawa dengan bahasa Jawa ketika dlam keluarga menggunakakn bahasa
Indonesia juga dirasa ada keganjilan.
Jadi baik bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia mempunyai peran-peran tertentu.Artinya penggunaaan bahasa
tersebut tidak bisa semnarang tempat tetapi harus menyesuaiakan lingkungan
keren mempunyai fungsi tersendiri.
c. Intreferensi.
Hubungan yang
terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini
dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya
ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu
dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah
yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia.
Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh
yang besar terhadap pemakaian bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua
bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini
dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi secara
umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang
dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua
bahasa. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya (2006:27) yang
menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa Inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan.
Istilah
interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968:1) untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa
secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat
menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi
pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain.
Weinreich (1968:1)
juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa
dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur
mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang
satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Didalam proses
interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya
pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa
pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo
(1989:53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat
kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata
dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi
adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya eleman-elemen
asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian
besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).
Dalam proses
interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap
atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam peristiwa
kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa
donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa
resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa.
Hortman dan Stork
melalui Alwasilah (1985:131) menganggap interferensi sebagai kekeliruan yang
disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu
ke dalam bahasa atau dialek kedua. Maksud interferensi merupakan kekeliruan yng
disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu
bahasa terhadap bahasa lain, mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan
kosakata.
Interferensi yang
terjadi antara bahasa Jawa dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya
pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa tersebut. Interferensi ini bisa
terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan kosakata.
Menurut (Suwito,
1983:59) interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa daerah berlaku
bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki unsur bahasa Indonesia
begitu pula sebaliknya. Namun, untuk bahasa asing interferensi cenderung hanya
secara sepihak, maksudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resipien dan bahasa
asing sebagai bahasa donor. Berikut bagan interferensi antara ketiga bahasa
tersebut:
|
|
|
Bahasa Asing Bahasa
Daerah
Dari beberapa
pendapat mengenai batasan interferensi, dapat diketahui bahwa interferensi
merupakan akibat dari kontak bahasa yang pada dasarnya merupakan pemakaian dua
buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa. Pada umumnya
interferensi dianggap sebagai gejala tutur (speech
parole), dan hanya terjadi pada diri dwibahasawan, Sedangkan peristiwanya
dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan
itu sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap.
F. Bentuk-Bentuk Interferensi
Weinreich (1968:7) membagi interferensi
berdasarkan bentuknya, yaitu:
- interferensi
bidang bunyi
- interferensi
bidang gramatika
- interferensi
bidang leksikal atau kosakata
Suwito (1983:55)
mengemukakan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan,
yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikal (kosakata).
Selain itu,
Poedjosoedarmo (1978:36) membagi interferensi berdasarkan segi sifatnya,
menjadi 3 macam yaitu: interferensi aktif, interferensi pasif, dan interferensi
variasional. Interferensi aktif adalah kebiasaan dalam berbahasa daerah
dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia, interferensi pasif adalah penggunaan
beberapa bentuk bahasa dan pola bahasa daerah, sedangkan interferensi
variasional adalah kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa
Indonesia.
Pada penelitian ini
hanya dibahas mengenai intereferensi morfologi bahasa Jawa dalam pemakaian
bahasa Indonesia pada kolom “piye ya?
“harian Suara merdeka.
1. Interferensi Morfologi
Morfologi adalah
cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui
penggunaan morfem (Crystal dalam Ba’dulu, 2004:1). Sedangkan morfem adalah
satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna (Chaer, 1994:146). Contoh kata
[berhak], terdiri dari dua morfem [ber] dan [hak].
Proses morfologi
dalam bahasa Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Ramlan (1985:63) yaitu
berupa afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan. Hal tersebut sama dengan proses
morfologi bahasa Jawa, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi interferensi
morfologi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Menurut Suwito
(1983:55) interferensi morfologi dapat terjadi apabila dalam pembentukan kata
suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Afiks suatu bahasa digunakan
untuk membentuk kata dalam bahasa lain, Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan
yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks. Dengan kata lain
afiks bisa memempati posisi depan, belakang, tengah bahkan di antara morfem
dasar (Ramlan, 1985:63). Dalam bahasa sering terjadi penyerapan afiks ke-, ke-an dari bahasa Jawa, misalnya
kata ketabrak, kelanggar dsb.
Bentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks
bahasa daerah. Bentukan dengan afiks-afiks seperti ini sebenarnya tidak perlu,
sebab dalam bahasa sudah ada padanannya berupa afiks ter-. Persentuhan unsur
kedua bahasa itu menyebabkan perubahan sistem bahasa, yaitu perubahan pada
struktur kata bahasa yang bersangkutan.
Selain berupa
penambahan afiks, gejala-gejala interferensi morfologi dapat pula berupa
reduplikasi, dan pemajemukan. Menurut Ramlan (1985:63) reduplikasi adalah
pengulangan suatu satuan gramatika, baik seluruhnya maupun sebagian. Lihat
pembahasan pada bab III.
2. Interferensi Sintaksis
Sintaksis adalah
tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan (Veerhar, 1990:
159). Sintaksis merupakan tata kalimat.
Interferensi
sintaksis terjadi apabila dalam struktur kalimat satu terserap struktur kalimat
bahasa lain (Suwito, 1983:56). Interferensi sintaksis dapat terlihat pada
penggunaan serpihan kata, frasa dan klausa dalam kalimat (Chaer dan Leonie,
1995:162). Bentuk Intereferensi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa misalnya : Bapak kok dereng tindhak dhateng kantor?
Dalam kalimat tersebut terdapat unsur kalimat
dari bahasa Jawa. Kalimat itu dalam bahasa Indonesia adalah Bapak kok belum berangkat ke
kantor?
Interferensi
struktur termasuk peristiwa yang jarang terjadi. Tetapi karena pola struktur
merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa, maka penyimpangan dalam level
ini biasanya dianggap sesuatu yang mendasar sehingga perlu dihindarkan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sasaran Penelitian
Penwlitian ini dilakukan penulis pada buku Wong Jawa kok (ora) Ngapusi karya Sucipto
Hadi Purnomo. Buku ini berisi
kumpulan esai yang merupkan terbitan dari rubrik Sang Pamomong Suara Merdeka.
3.2 Metode Penelitian
Pendekatan
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metodeyang diguakan Anlaisis Intertekstual yaitu dengan
mengkaji teks secara keseluruhan.
Data dan Sumber Data
Data
dalam peneltian ini merupakan hasil analisis
penulis terhadap buku Wong Jawa kok (ora)
Ngapusi karya Sucipto Hadi Purnomo Semarang. Sedangkan
sumber datanya adalah analisis buku
secaraberulang-ulang.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini berupa anlisis kalimat yang mengandung interferensi
morfologis.
3.4 Tahap Pengumpulan data
1.
Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap ini peneliti melakukan pengumpulan data
dengan metode simak. Metode ini dilakukan dengan cara membaca dan memahami
wacana, serta dilanjutkan dengan teknik catat yaitu dengan mencatat kata atau
kalimat yang ada pada sumber data. Langkah-langkah yang digunakan peneliti pada
tahap pengumpulan data adalah sebagai
berikut:
Langkah pertama adalah mengumpulkan
data, setelah semua data terkumpul kemudian data yang ada tersebut diperiksa
dengan cara membaca dan memahami wacana secara berulang-ulang.
Langkah kedua adalah seleksi data,
semua data yang sudah diperiksa, kemudian peneliti mengidentifikasikan bentuk
interferensi yang terdapat pada objek data serta menandai kata atau kalimat
yang mengandung bentuk-bentuk interferensi, dilanjutkan dengan mencatatat serta
memberi nomor pada kata atau kalimat yang sudah ditandai tersebut. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan penulis dalam mencari dan mengelompokkan data.
Langkah keempat yaitu
pengelompokkan data. Data yang sudah diseleksi kemudian dikelompokkan menjadi
satu. Pengelompokan data didasarkan pada bentuk interferensi morfologi dan
sintaksis.
2. Tahap
Analisis Data
Data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
padan. Metode padan digunakan dalam analisis data penelitian ini, sebab bahasa
yang diteliti memiliki hubungan dengan hal-hal di luar bahasa yang
bersangkutan. Metode ini dijabarkan dalam satu teknik dasar, yaitu teknik dasar
pilah unsur penentu (PUP) dengan menggunakan daya pilah translational. Daya pilah translational merupakan daya pilah yang
digunakan dalam analisis bahasa dengan alat penentunya adalah bahasa lain. Alat
pilah yang digunakan sebagai pedoman translit bahasa Jawa adalah kamus
Jawa-Indonesia dan kamus bahasa Indonesia. Bahasa Jawa yang merupakan
interferensi dalam penggunaan bahasa Indonesia, dianalisis dan dipadankan
sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar. Dalam analisis ini, tidak menutup
kemungkinan adanya analisis silang, yaitu data yang sama dimungkinkan untuk
dianalisis lebih dari satu kali tetapi untuk kajian yang berbeda.
3.
Tahap Penyajian Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode
informal. Penyajian informal yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata
biasa (Sudaryanto, 1993:144-159). Alasan digunakannya metode informal dalam
penyajian hasil analisis karena penelitian ini bersifat deskriptif. Maksudnya
pendeskripsian dari dari gejala atau keadaan yang terjadi pada objek data
penelitian. Interferensi diungkapkan secara apa adanya berdasarkan pada data,
sehingga hasil perian ini benar-benar merupakan suatu fenomena bahasa yang
sesungguhnya.
Data yang sudah dianalisis kemudian diberi
penjelasan dibawahnya mengenai jenis interferensi, analisis dan sumber data.
BAB IV
PEMBAHASAN
1.
interferensi morfologis
Interferensi Morfologi
Interferensi morfologi dapat terjadi apabila dalam
pembentukan kata bahasa Indonesia menyerap unsur bahasa atau afiks lain, dalam
hal ini terjadinya penyerapan unsur bahasa Jawa ke dalam pembentukan kata
bahasa Indonesia. Persentuhan unsur kedua bahasa tersebut dapat menyebabkan
perubahan sistem bahasa yang bersangkutan. Misalnya kata yang berafiks bahasa
daerah dan berkata dasar bahasa Indonesia dan sebaliknya, namun struktur
morfemisnya mengikuti proses morfologi bahasa daerah atau sebaliknya. Dalam
bahasa Indonesia ada tiga unsur proses morfologi yaitu: proses pembubuhan afiks
(afiksasi), proses pengulangan (reduplikasi), proses pemajemukan (komposisi)
(Ramlan, 1985:51-82)
Sama halnya dengan proses morfologis bahasa
Indonesia, pada penelitian ini juga akan dibahas tentang interferensi
morfologis bahasa Jawa yang berupa afiksasi, pengulangan, serta pemajemukan.
1.1 Interferensi berupa Afiksasi
Interferensi morfologi dapat terjadi pada proses
pembentukan bentuk dasar bahasa Indonesia dengan pembubuhan afiks bahasa Jawa.
Proses pembubuhan afiks tersebut dinamakan afiksasi. Afiks adalah morfem terikat yang berupa awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks)
dan kombinasi afiks (konfiks) (Agustien
dkk, 1999:15). Pada penelitian ini ditemukanadanya interferensi yang terjadi
karena adanya proses afiksasi yang meliputi pelesapan awalan, penambahan bentuk
awalan, penambahan bentuk akhiran, pertukaran bentuk awalan, dan pertukaran
bentuk akhiran. Sedangkan proses afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada
suatu satuan, baik satuan itu berbentuk tunggal atau kompleks (Ramlan:
1985:49).
Berikut ini disajikan analisis interferensi
morfologi bahasa Jawa dalam tuturan bahasa Indonesia yang berupa afiks.
1. Pemakaian prefiks Nasal N- Bahasa Jawa
Pada penelitian ini diketahui bahwa prefiks N- sering digunakan oleh penutur
Jawa ketika terdapatkata bahasa indonesia. Penambahan prefiks
nasal N- pada kata dasar bahasa
Indonesia dapat mengakibatkan interferensi bahasa
indonesia ke dalam bahasa Jawa. Pemakaian prefiks
N- pada tuturan yang ada dalam penelitian ini merupakan prefiks bahasa Jawa
sebagai pengganti bentuk prefiks bahasa Indonesia yaitu meN-. Pemakaian prefiks
nasal N- bahasa Jawa dapat terjadi
karena kebiasaan penutur dalam melafalkan kata kerja bahasa Jawa pada saat
berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Fungsi gramatikal prefiks N- sebagian besar
membentuk kata kerja aktif baik transitif maupun intransitif. Prefiks N- bahasa Jawa mempunyai empat alomorf,
yaitu n-, m-, ng-, dan ny- (Suwadji, 1986: 9).
Pada penelitian ini ditemukan adanya pemakaian prefik N- yang merupakan
bentuk nasalisasi bahasa Jawa dapat dilihat pada tuturan berikut:
·
pos kaya ngono kuwi
ora mung dudu papn umum,nanging malah dadi panggonan kanggo nyeleksi
sapa wae kang bakal mlebu ing wilayah sing dadi tanggungjawabe.
Kata nyeleksi berasal
dari bahasa indonesia seleksi mendapat
sufiks ny-.
·
Upaya pati dicakna marang sapa wae sing dianggep nghina marang kaluhurane
(Hal.
8)
Kata nghina
berasal dari kata dasar bhaas Indonesia “hina”, mendapat prefiks N- menjadi
nghina
2. Penambahan sufiks
·
Merga ora bisa
ngendhani fungsi sosiale, mula banjur ana pakulinan warung managn menehi gratisan sedina naaika wulan pas.
(hala 31)
Gratisan
berasal darri kata bahasa Indonesia
gratis, mendapat sufiks –an, menjajdi gratisan
·
Apa kabeh mau bisa
ditemtokake ing toko swalayan utawa ing restoran..
(hal 39)
Restoran
berasal dari bahasa Indonesia Resto, mendapat sufiks –an menjadi restorab.
Restiran mendafat sufiks-an bermakna lokatif.
·
Ora mokal nemu lembaran sejarah Jawa akeh kang
cathetan para calon raja.. (hal 41).
Lembaran
berasal dari kata Bahasa Indonesia Lembar, mendapat tambahan sufiks –an menjadi
lembaran.
·
wong-wong sikep mau
milih mung mligi oleh tetanen menangka sumbering
wulu pemetu... (hal 14)
Sumbering
berasal dari kata Bahasa Indonesia sumberr, mendapat tambahan sufiks –ing
menjadi sumbering.
·
Ngenut konsepsine MaX Weber ngenani otoritas,
kang ngregem panguawasa ing jaman kerjaan.. (Hal.7)
konsepsine
berasal dari kata Bahasa Indonesia konsep, mendapat tambahan sufiks –e menjadi
konsepsine
·
Hebate
maneh , dheweke bisa nungkulake raja kang katungkulane ora ruamngsa kasoran,
malah kosok baline (hal 92).
Hebate berasal dari kata Bahasa Indonesia hebat,
mendapat tambahan sufiks
–e menjadi hebate.
·
Umumue, muncule kembaran kang memba-memba iku bebarengan
karo linggane tokoh sabenere. (hal 12)
Kembaran berasal
dari kata Bahasa Indonesia kembar,
mendapat tambahan sufiks –an menjadi kembaran.
3. penambahan prefiks
·
Nanging, “raja adil
disembah, raja lalim disanggah” (hal
8)
Disanggah berasal
dari kata Bahasa Indonesia sanggah, mendapat tambahan prefiks di- menjadi disanggah.
4.
penambahan konfiks
·
Saking lumrahe,
tumindak ngapusi bisa kagolongake
rong macem, yaiku ngapusi sing maton lan ngapusi sing ora maton. (Hal. 3)
Kagolongake berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia golong,
mendapat konfiks ka-ake menjadi kagolongake.
·
Sing manud dhasar pembenaran. (Hal. 3)
Pembenaran berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia benar
mendapat konfiks pe-an menjadi pembenaran..
·
Pembenaran
kala-kala cedhak karo kebenaran. (Hal.
3)
kebenaran berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia benar,
mendapat konfiks ka-an menjadi kebenaran.
·
Saking ilange kapercayan iku uga isih sok kandheg
lan kalindih dening rasa tepa selira lan usus dawa. (Hal. 3)
kapercayan berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia percaya,
mendapat konfiks ka-an menjadi kapercayan.
·
Sebab, luwih akeh
sing nganggep kekalahan mau dudu
minangka kenyataan sing diadhepi lan
ditampa kanthi lila legawa. (hala 12)
kekalahan berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia kalah,
mendapat konfiks ka-an menjadi kekalahan.
kenyataan berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia nyata,
mendapat konfiks ka-an menjadi kenyataan..
·
Semara minangka
Jawata kang ngejawantah ora bakal kasmaran
(hal 17)
Kasmaran berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia asmara mendapat konfiks ka-an menjadi kasmaran.
·
Ewasemana, marang
kang kembar, pancen kewaspadan kudu
diundhakake. (hal 19)
Kawaspadan berasal
dari kata dasar bahasa Indonesia waspada,
mendapat konfiks ka-an menjadi kawaspadan.
5. reduplikasi
·
Siji mulak kang
ateges awas lan ngati-ati kanthi
tansah waspada marang punggawa... (Hal. 8)
Ngati-ati
merupakan reduplikasi dari kata bahasa Indonesia hati-hati, mengalami
reduplikasi menjadi ngati-ati.
·
Sawetara gelar-gelar menika namung asipat sosiokultural. (hal 19)
Gelar-gelar
merupakan reduplikasi dari kata bahasa Indonesia gelar, mengalami reduplikasi
menjadi gelar-gelar.
2. Faktor Penyebab.
Penulis menyimpulkan berdasarkan uraian di atas bahwa
adanya interferensi bahasa indonesia dipengaruhi beberpa faktor yaitu
a. Menghormati pembaca
b. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan Nasional.
c. kebiasaan penutur dalm pergaulan agar terlihat
berkelas.
d. Sulit mencari padadan kata di dalam bahasa Jawa.
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasrakan pembahasan yang telah dilakukakn penulis
dapat disimpulkan bahawa dalam buku Wong
Jawa kok (ora) Ngapusi terdapat
interferensi bahasa Indonesia ke dalam bhasaa Jawa secara morologis.
Interferensi morfologisnya berupa afiks,
sufiks, konfiks, dan reduplikasi.
Sementar faktor yang mempengaruhi adanya interferensi
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa diantaranya
a. Menghormati pembaca
b. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan Nasional.
c. kebiasaan penutur dalm pergaulan agar terlihat
berkelas.
d. Sulit mencari padadan kata di dalam bahasa Jawa.
B. SARAN
Diharapkan penelitian ini mammpu menambah pengetahuan
pembaca terkait interferensi morfologis serta menjadikannnya materi
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1997. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta
: Rineka Cipta.
Purnomo, Sucipto Hadi. 2011. Wong Jawa kok (Ora) Ngapusi. Semarang : CPNS.
Rokhman, Fathur. 2008. Silabus dan Hand Out Sosiolinguistik. Semarang: Unnes.
Setiyowati, Avid. 2008. Interferensi Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa
dalam Bahasa Indonesia pada Kolom
“Piye Ya?” Harian Suara Merdeka.
Semarang : UNDIP
Suwito. 1985. Sosiolinguistik
Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset Solo.
sama2
BalasHapus