Pages

Ads 468x60px

Kamis, 10 Juli 2014

Interferensi Morfologis Bahasa Indonesia
dalam Bahasa Jawa pada Buku Wong Jawa  Kok (ora) Ngapusi
Disusun Guna memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : Prembayun Miji Lestari

Disusun oleh :
Charisfa Nuzula
2601411142
Rombel 5





JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
 2014


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu kegiatan sosial (Kongres Bahasa, 1978:276). Dalam kegiatan ini dikirim dan diterima lambang-lambang yang mengandung arti. Pemberian arti perlu “sama” agar pengirim lambang (komunikator) dan penerima lambang (komunikan) mengerti satu sama lain sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan dengan baik. Komunikasi dapat melibatkan beberapa aspek. Alwasilah (1989:8) menyatakan “komunikasi sebagai suatu proses melibatkan (1) pihak yang berkomunikasi, (2) informasi yang dikomunikasikan, (3) alat komunikasi”. Tidak ada komunikasi yang tidak melibatkan ketiga aspek di atas dan sesungguhnya manusia tidak akan terlepas dari ketiga aspek tersebut. Dalam proses komunikasi digunakan bahasa sebagai pengantar.
Bahasa merupakan suatu alat untuk mengungkapakan apa yang ada dipikirannya. Bahasa digunakan untuk menunujukan peran dalam lingkungan.Oleh karena itu, bahasa merupakan alat pemersatu sosial. Suatu msayrakat tidaklah mungkin dapat saling berinteraksi tanpa adanya bahasa.
Bahasa memang salah satu ciri paling khas yang manusiawi yang membedakannya dari mahluk-mahluk lain (Nababan, 1984:1). Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 1995:19). Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran.

Indonesia merupakan negara yang wilayahnya sangat luas, penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa daerah serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena alasan tersebut, Indonesia disebut negara yang kaya akan budaya. Salah satu di antara kekayaan budaya Indonesia adalah adanya bahasa daerah. Berdasarkan peta bahasa yang dibuat oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, ada sekitar 726 buah bahasa daerah dengan jumlah penutur setiap bahasa berkisar antara 100 orang (ada di Irian Jaya) sampai yang lebih dari 50 juta (penutur bahasa Jawa) (Chaer dan Agustina,1995:294). Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah dengan jumlah penutur  yang besar, hal ini dapat dilihat dari bahasa Jawa yang digunakan di daerah Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur kecuali Madura. Bahasa Jawa termasuk dari sekian banyak bahasa daerah yang mendukung keutuhan dan kelanjutan kehidupan kebudayaan Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi. Dalam proses komunikasi masyarakat Indonesia menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa daerah masing-masing. Kedua bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan, baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemakaian bahasa Jawa yang disisipi oleh kosa kata bahasa Indonesia tau lainnya.
Buku merupkan salah asatu media cetak paling efektif utuk menyampaikan gagagsan. Buku memiliki kekuatan persuasif untuk mengarahkann opini publik sesuai yang diinginkan penulis. Buku berbhaasa Jawa sampai sekarang ini masih terbatas jumlahnya, kurangnya media ini juga mempengaruhi masyarakat dalam berpikir. Buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi  karya Sucipto Hadi Purnomo merupkan salah satu buku berbahasa Jawa yang mmapu mempengaruhi pembahaca karena bukunya bersifat essay. Penulis buku ini juga merupakan seorang mantan awratawan yang pastinya menggunkana kaidah-kaidah pencarian fakta dalam penulisannya.
Penulis yang merupkan dosen bahasa Jawa tapi sekaligus orang Indoonesia, tak ayal dalam proses penulisan buku ini juga memasukkan bahasa Indonesia dalam bukunya. Adanya pemsukkan unsur bahasa Indonesia dalam buku ini tidak bermaksud untuk merusak bahsa, anamun untuk mempermudah penyamoaina informasi sebagai tujuan dari komunikai.
Interferensi merupakan fenomena penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua bahasa atau lebih. Suwito (1983:54) berpendapat bahwa Interferensi sebagai penyimpangan karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Jadi, manifestasi penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu.
Dari segi kebahasaan, interferensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interferensi bentuk dan interferensi arti. Menurut Soepomo (1982:27) “Interferensi bentuk meliputi unsur bahasa dan variasi bahasa, sedangkan interferensi bahasa meliputi interferensi leksikal, morfologi, dan sintaksis”. Pembahasan tentang interferensi sangat luas cakupannya, namun dalam penelitian ini hanya akan dibahas tentang interferensi morfologi dan sintaksis Bahasa Indonesia dam Bahasa Jawa pada buku Wong Jwa Kok (ora) Ngapus karya Sucipto Hadi Purnomo.
Buku ini merupakan kumpulan essay yang berisi kritikan sosial terhadap permasalahan yang sedang aktual di kalangan “orang Jawa”. Pada buku ini dijumpai interferensi bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa. Contohnya sebgai berikut :
Hal 38 : Ora mokal yen jroning Lembaran sejarah Jawa akeh bange cathetan ngenai para calon raja sing kudu nemahi cintraka...
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul “Interferensi Morfologis dan Sintaksis Bahasa Indonesia  dalam Bahasa Jawa pada Buku Wong Jawa  Kok (ora) Ngapusi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis menguraikan masalah yang akan dibahasyaitu.
1. Bagaimana Interferensi morfologis pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi?
2. Bagaimana yang melatrbelakangi pemasukkan bahasa Indonesia ke dalam buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi?
1.3 Tujuan Penelitian
1. mendeskripsikan Interferensi morfologis pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi.
2. mendeskripsikan yang melatarbelakangi pemasukkan bahasa Indonesia ke dalam buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi?
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan baru pembaca tentang adanya peniyimpangan bahasa terutama interferensi morfologis dan sintaksis yang terdapat pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi.
1.4.2 Manfaat Praktis
                 Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara nyata untuk umum baik untuk guru, pelajar, dosen dan lainnya. Diharapkan mereka dapat mengetahui intrferensi yangada pada buku Wong Jawa Kok (ora) Ngapusi serta mmapu menjadikannnya pelajaran kan dampak negtif perusakan bahasa tersebut.




BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Kajian Teori
Penelitian tentang interferensi sangat penting, terbukti dikenal beberapa peneliti yang mulai menulis sejak tahun 1950 seperti Weinreich, Haugen, Ferguson, Mackey, Lado, dan Richard. Di Indonesia, penelitian interferensi pertama dilakukan oleh Rusyana (1975). Dalam penelitiannya yang berjudul “Interferensi Morfologi pada penggunaan bahasa Indonesia oleh Anak-anak yang Berbahasa Pertama bahasa Sunda Murid sekolah dasar Daerah Propinsi Jawa Barat, kemudian dilanjutkan oleh Ridjin dkk. (1981), Huda (1981), Abdulhayi (1985), Parwati (1985), serta Denes dkk. (1994).
Penelitian tentang interferensi juga pernah dilakukan di fakultas Sastra Universitas Diponegoro oleh Murdianingsih (2004) dan Mahar Pramudya (2006). Penelitian dilakukan oleh Murdianingsih dalam skripsinya yang berjudul “Interferensi Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia pada Rubrik “Gayeng Semarang” di Surat Kabar Suara Merdeka”. Penelitian ini mengkaji masalah interferensi bahasa Jawa dalam pemakaian bahasa Indonesia dalam tataran leksikal yang meliputi interferensi monomorfemis dan polimorfemis. Interferensi bentuk monomorfemis meliputi kelas kata Verba, Nomina, Adjektiva, Adverbia dan kata tugas. Sedang interferensi bentuk polimorfemis meliputi kata berafiks, bentuk ulang atau reduplikasi dan bentuk kata majemuk (2004:31-53).
Dalam penelitian ini diketahui adanya faktor penyebab terjadinya interferensi yaitu karena adanya unsur kesengajaan penutur agar setiap tuturannya lebih dipahami oleh pembaca dan fungsinya untuk menghidupkan tuturan sehingga tidak terkesan kaku (2004:53-54).
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Mahar Pramudya membahas tentang “Interferensi Gramatikal Bahasa Melayu Bangka dalam Pemakaian Bahasa Indonesia: dengan Data Rubrik “Mak Per dan Akek Buneng” dalam Surat Kabar Bangka Pos”.
Dalam penelitiannya ditemukan beberapa peristiwa yang terjadi pada bidang morfologi afiksasi dan reduplikasi, sedangkan interferensi sintaksis ditujukan pada kontruksi kalimat bahasa Melayu Bangka yang tidak lazim jika diterjemahkan atau dipakai saat berbicara dengan penutur yang berbahasa Indonesia (2006:36-66).
Dari penelitian-penelitian di atas, penulis ingin melengkapi penelitian yang sudah ada tentang interferensi bahasa Jawa terhadap pemakaian bahasa Indonesia, namun tidak hanya dalam tataran leksikal saja tetapi juga tataran morfologis dan sintaksis
2.2 Landasan Teoritis
Penelitian ini menggunakan beberapa teori diantaranya teori kontak bahasa, kedwibahasaan, dan interfrensi.
a. Kontak Bahasa
     Masyarakat erat kaitannya dengan bahasa karena masyarakat dalam berinterakasi aatu berkomunikasi menggunakan bahasa sebagai sarananya. Kajian yang mengkaji hubungan antara masyarakat adan bahasa adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu interdispliner yang mempelajari bahasa erat kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
Chaer dan Agustina (1995:4) mengatakan sosiolinguistik yaitu pengkajian bahasa (linguistik) sebagaimana bahasa itu berada dan berfungsi dalam masyarakat (sosiologis). Dengan demikian, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.
Sementara suwito (1985:2) mengungkapkan bahawa sosiolinguistik merupakan penunjuk adanya bahasa dan pemakaian bahasa dengan peristiwa-peristiwa sosial. Bhasa dan peristiwa bahasa merupakan kajian studi linguistik, sementara peristiwa-peristiwa masayarakat termasuk kajian bidang sosiologi.
Rokhman (2008 :4) juga mnengkaji sosiolinguistik sebgai ilmu interdispliner. Istilahnya menunjukkan bahwa ia terdiri atas bidang sosiologi dan lingustik. Dalam istilah sosilolinguistk kata sosio adallah aspek utama dalam penelitian dana merupakan ciri umum bidang tersebut.
Nababan menambahkan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh linguistik dan nonlinguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor situasional. Adapun yang termasuk dalam faktor situasional adalah siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dalam situasi yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa dan ragam bahasa mana, atau disingkat SPEAKING (Dell Hymes dalam Nababan, 1984). Adanya faktor situasional dan sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa maka timbullah variasi bahasa.
Kontak Bahasa merupakan asalah asatu yang dipeajari dalam sosiolinguitik. Seorang penutur yang mengusai lebih dari satu bahasa (kedwibahasaan) lebih berpeluang untuk terjadinya kontak bahasa. Interferensi juga merupakan salah satu dampak adanya kontak bahasa.
Apabila ada dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Sebagai contoh, adanya kontak bahasa antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur bahasa Jawa. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur. Individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seseorang disebut kedwibahasaan (Weinreich dalam Suwito, 1983:39).
Diebold dalam Suwito (1983:39) menjelaskan bahwa kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi dimana seseorang belajar bahasa kedua dalam masyarakat. Pada situasi seperti itu dapat dibedakan antara situasi belajar bahasa, proses perolehan bahasa dan orang yang belajar bahasa. Dalam situasi belajar bahasa terjadi kontak bahasa, proses pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan (bilingualisasi) serta orang yang belajar bahasa kedua dinamakan dwibahasawan. Kontak bahasa cenderung kepada gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan cenderung sebagai gejala tutur (parole).
Jadi jelaslah bhawa kontak bahsa merupakan gelajala perssentuhan bahhasa yang ada dalm masyrakat yang memungkinkan adanya pergantian penggunaan bahasa atau penggunaan bahasa yang bervariasi.
b. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan merupakan penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam pergaulannya. Chaer (1997: 84) menyebutkan bahwa secara sosiolingustik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oelh seorang penutur dalm pergaulannya dengan orag lain secra bergantian.  Untuk menggunkan dua bahasa itu seorang penutur harus menguasai keduanya, yitu bahasa inu (B1) dan bahasa kedua (B2).
Bloomfield dalam Suwito (1985) merumuskan bahwa bilingualisme sebgai native-like- control of two languages.Sedang Halliday meneybeutnya sebagi ambilingualism. Equilingism oleh Oksaar dan coordinate bilingualism oleh Diebold.
Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1985:41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowledge of two languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa.
Kasus kedwibahasaan mislanya pada keluarga Jawa yang bahasa ibnya adalah bhasa Jawa. Namun ketika di sekolah dalam berinteraksi harus menggunakan bahasa indonesia, bukan karena mereka malu menggunakan bahasa Jawa,tetapi karena sistem menharuskan.Sebaliknya keluarga Jawa dengan bahasa Jawa ketika dlam keluarga menggunakakn bahasa Indonesia juga dirasa ada keganjilan.
Jadi baik bahasa Jawa dan bahasa Indonesia mempunyai peran-peran tertentu.Artinya penggunaaan bahasa tersebut tidak bisa semnarang tempat tetapi harus menyesuaiakan lingkungan keren mempunyai fungsi tersendiri.
c. Intreferensi.
Hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi secara umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua bahasa. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya (2006:27) yang menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa Inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan.
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968:1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain.
Weinreich (1968:1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Didalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo (1989:53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya eleman-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).
Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi.  Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa.
Hortman dan Stork melalui Alwasilah (1985:131) menganggap interferensi sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. Maksud interferensi merupakan kekeliruan yng disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain, mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Interferensi yang terjadi antara bahasa Jawa dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa tersebut. Interferensi ini bisa terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan kosakata.
Menurut (Suwito, 1983:59) interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa daerah berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki unsur bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya. Namun, untuk bahasa asing interferensi cenderung hanya secara sepihak, maksudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resipien dan bahasa asing sebagai bahasa donor. Berikut bagan interferensi antara ketiga bahasa tersebut:
D1
D2
D3

 
Bahasa Indonesia
 
A1
A2
A3
 
         Bahasa Asing                                                                 Bahasa Daerah



Dari beberapa pendapat mengenai batasan interferensi, dapat diketahui bahwa interferensi merupakan akibat dari kontak bahasa yang pada dasarnya merupakan pemakaian dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa. Pada umumnya interferensi dianggap sebagai gejala tutur (speech parole), dan hanya terjadi pada diri dwibahasawan, Sedangkan peristiwanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap.
F.  Bentuk-Bentuk Interferensi
              Weinreich (1968:7) membagi interferensi berdasarkan bentuknya, yaitu:
  1. interferensi bidang bunyi
  2. interferensi bidang gramatika
  3. interferensi bidang leksikal atau kosakata
Suwito (1983:55) mengemukakan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikal (kosakata).
Selain itu, Poedjosoedarmo (1978:36) membagi interferensi berdasarkan segi sifatnya, menjadi 3 macam yaitu: interferensi aktif, interferensi pasif, dan interferensi variasional. Interferensi aktif adalah kebiasaan dalam berbahasa daerah dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia, interferensi pasif adalah penggunaan beberapa bentuk bahasa dan pola bahasa daerah, sedangkan interferensi variasional adalah kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa Indonesia.
Pada penelitian ini hanya dibahas mengenai intereferensi morfologi bahasa Jawa dalam pemakaian bahasa Indonesia pada kolom “piye ya? “harian Suara merdeka.

1.   Interferensi Morfologi
Morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem (Crystal dalam Ba’dulu, 2004:1). Sedangkan morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna (Chaer, 1994:146). Contoh kata [berhak], terdiri dari dua morfem [ber] dan [hak].
Proses morfologi dalam bahasa Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Ramlan (1985:63) yaitu berupa afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan. Hal tersebut sama dengan proses morfologi bahasa Jawa, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi interferensi morfologi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Menurut Suwito (1983:55) interferensi morfologi dapat terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain, Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks. Dengan kata lain afiks bisa memempati posisi depan, belakang, tengah bahkan di antara morfem dasar (Ramlan, 1985:63). Dalam bahasa sering terjadi penyerapan afiks ke-, ke-an dari bahasa Jawa, misalnya kata ketabrak, kelanggar dsb. Bentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah. Bentukan dengan afiks-afiks seperti ini sebenarnya tidak perlu, sebab dalam bahasa sudah ada padanannya berupa afiks ter-. Persentuhan unsur kedua bahasa itu menyebabkan perubahan sistem bahasa, yaitu perubahan pada struktur kata bahasa yang bersangkutan.
Selain berupa penambahan afiks, gejala-gejala interferensi morfologi dapat pula berupa reduplikasi, dan pemajemukan. Menurut Ramlan (1985:63) reduplikasi adalah pengulangan suatu satuan gramatika, baik seluruhnya maupun sebagian. Lihat pembahasan pada bab III.
2.   Interferensi Sintaksis
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan (Veerhar, 1990: 159). Sintaksis merupakan tata kalimat.
Interferensi sintaksis terjadi apabila dalam struktur kalimat satu terserap struktur kalimat bahasa lain (Suwito, 1983:56). Interferensi sintaksis dapat terlihat pada penggunaan serpihan kata, frasa dan klausa dalam kalimat (Chaer dan Leonie, 1995:162). Bentuk Intereferensi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa misalnya : Bapak kok dereng tindhak dhateng kantor?
Dalam kalimat tersebut terdapat unsur kalimat dari bahasa Jawa. Kalimat itu dalam bahasa Indonesia adalah Bapak kok belum berangkat ke kantor?
Interferensi struktur termasuk peristiwa yang jarang terjadi. Tetapi karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa, maka penyimpangan dalam level ini biasanya dianggap sesuatu yang mendasar sehingga perlu dihindarkan.










BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sasaran Penelitian
Penwlitian ini dilakukan penulis pada buku Wong Jawa kok (ora) Ngapusi karya Sucipto Hadi Purnomo.  Buku ini berisi kumpulan esai yang merupkan terbitan dari rubrik Sang Pamomong Suara Merdeka.
3.2 Metode Penelitian
Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metodeyang diguakan Anlaisis Intertekstual yaitu dengan mengkaji teks secara keseluruhan.
Data dan Sumber Data
Data dalam peneltian ini merupakan hasil analisis penulis terhadap buku Wong Jawa kok (ora) Ngapusi karya Sucipto Hadi Purnomo Semarang. Sedangkan sumber datanya adalah analisis buku secaraberulang-ulang.
3.3 Instrumen Penelitian
 Instrumen penelitian ini berupa anlisis kalimat yang mengandung interferensi morfologis.
3.4 Tahap Pengumpulan data
1.      Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan metode simak. Metode ini dilakukan dengan cara membaca dan memahami wacana, serta dilanjutkan dengan teknik catat yaitu dengan mencatat kata atau kalimat yang ada pada sumber data. Langkah-langkah yang digunakan peneliti pada tahap pengumpulan data  adalah sebagai berikut:
Langkah pertama adalah mengumpulkan data, setelah semua data terkumpul kemudian data yang ada tersebut diperiksa dengan cara membaca dan memahami wacana secara berulang-ulang.
Langkah kedua adalah seleksi data, semua data yang sudah diperiksa, kemudian peneliti mengidentifikasikan bentuk interferensi yang terdapat pada objek data serta menandai kata atau kalimat yang mengandung bentuk-bentuk interferensi, dilanjutkan dengan mencatatat serta memberi nomor pada kata atau kalimat yang sudah ditandai tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penulis dalam mencari dan mengelompokkan data.
Langkah keempat yaitu pengelompokkan data. Data yang sudah diseleksi kemudian dikelompokkan menjadi satu. Pengelompokan data didasarkan pada bentuk interferensi morfologi dan sintaksis.
2.      Tahap Analisis Data
        Data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan digunakan dalam analisis data penelitian ini, sebab bahasa yang diteliti memiliki hubungan dengan hal-hal di luar bahasa yang bersangkutan. Metode ini dijabarkan dalam satu teknik dasar, yaitu teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) dengan menggunakan daya pilah translational. Daya pilah translational merupakan daya pilah yang digunakan dalam analisis bahasa dengan alat penentunya adalah bahasa lain. Alat pilah yang digunakan sebagai pedoman translit bahasa Jawa adalah kamus Jawa-Indonesia dan kamus bahasa Indonesia. Bahasa Jawa yang merupakan interferensi dalam penggunaan bahasa Indonesia, dianalisis dan dipadankan sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar. Dalam analisis ini, tidak menutup kemungkinan adanya analisis silang, yaitu data yang sama dimungkinkan untuk dianalisis lebih dari satu kali tetapi untuk kajian yang berbeda.
3.   Tahap Penyajian Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan  menggunakan metode informal. Penyajian informal yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:144-159). Alasan digunakannya metode informal dalam penyajian hasil analisis karena penelitian ini bersifat deskriptif. Maksudnya pendeskripsian dari dari gejala atau keadaan yang terjadi pada objek data penelitian. Interferensi diungkapkan secara apa adanya berdasarkan pada data, sehingga hasil perian ini benar-benar merupakan suatu fenomena bahasa yang sesungguhnya.
Data yang sudah dianalisis kemudian diberi penjelasan dibawahnya mengenai jenis interferensi, analisis dan sumber data.


                
BAB IV
PEMBAHASAN
1. interferensi morfologis
Interferensi Morfologi
Interferensi morfologi dapat terjadi apabila dalam pembentukan kata bahasa Indonesia menyerap unsur bahasa atau afiks lain, dalam hal ini terjadinya penyerapan unsur bahasa Jawa ke dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Persentuhan unsur kedua bahasa tersebut dapat menyebabkan perubahan sistem bahasa yang bersangkutan. Misalnya kata yang berafiks bahasa daerah dan berkata dasar bahasa Indonesia dan sebaliknya, namun struktur morfemisnya mengikuti proses morfologi bahasa daerah atau sebaliknya. Dalam bahasa Indonesia ada tiga unsur proses morfologi yaitu: proses pembubuhan afiks (afiksasi), proses pengulangan (reduplikasi), proses pemajemukan (komposisi) (Ramlan, 1985:51-82)
Sama halnya dengan proses morfologis bahasa Indonesia, pada penelitian ini juga akan dibahas tentang interferensi morfologis bahasa Jawa yang berupa afiksasi, pengulangan, serta pemajemukan.

1.1  Interferensi berupa Afiksasi
Interferensi morfologi dapat terjadi pada proses pembentukan bentuk dasar bahasa Indonesia dengan pembubuhan afiks bahasa Jawa. Proses pembubuhan afiks tersebut dinamakan afiksasi. Afiks adalah morfem terikat yang berupa awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks) dan kombinasi afiks (konfiks) (Agustien dkk, 1999:15). Pada penelitian ini ditemukanadanya interferensi yang terjadi karena adanya proses afiksasi yang meliputi pelesapan awalan, penambahan bentuk awalan, penambahan bentuk akhiran, pertukaran bentuk awalan, dan pertukaran bentuk akhiran. Sedangkan proses afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan itu berbentuk tunggal atau kompleks (Ramlan: 1985:49).
Berikut ini disajikan analisis interferensi morfologi bahasa Jawa dalam tuturan bahasa Indonesia yang berupa afiks.

1. Pemakaian prefiks Nasal N- Bahasa Jawa
Pada penelitian ini diketahui bahwa prefiks N- sering digunakan oleh penutur Jawa ketika terdapatkata bahasa indonesia.  Penambahan prefiks nasal N- pada kata dasar bahasa Indonesia dapat mengakibatkan interferensi bahasa indonesia ke dalam bahasa Jawa.  Pemakaian prefiks N- pada tuturan yang ada dalam penelitian ini merupakan prefiks bahasa Jawa sebagai pengganti bentuk prefiks bahasa Indonesia yaitu meN-. Pemakaian prefiks nasal N- bahasa Jawa dapat terjadi karena kebiasaan penutur dalam melafalkan kata kerja bahasa Jawa pada saat berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Fungsi gramatikal prefiks N- sebagian besar membentuk kata kerja aktif baik transitif maupun intransitif. Prefiks N- bahasa Jawa mempunyai empat alomorf, yaitu n-, m-, ng-, dan ny- (Suwadji, 1986: 9).
Pada penelitian ini ditemukan adanya pemakaian prefik N- yang merupakan bentuk nasalisasi bahasa Jawa dapat dilihat pada tuturan berikut:
·         pos kaya ngono kuwi ora mung dudu papn umum,nanging malah dadi panggonan kanggo nyeleksi sapa wae kang bakal mlebu ing wilayah sing dadi tanggungjawabe.
Kata nyeleksi berasal  dari bahasa indonesia seleksi mendapat sufiks ny-.
·         Upaya  pati dicakna marang sapa wae sing dianggep nghina marang kaluhurane
(Hal. 8)
Kata nghina berasal dari kata dasar bhaas Indonesia “hina”, mendapat prefiks N- menjadi nghina

2. Penambahan sufiks
·         Merga ora bisa ngendhani fungsi sosiale, mula banjur ana pakulinan warung managn menehi gratisan sedina naaika wulan pas. (hala 31)
Gratisan berasal darri kata  bahasa Indonesia gratis, mendapat sufiks –an, menjajdi gratisan
·         Apa kabeh mau bisa ditemtokake ing toko swalayan utawa ing restoran.. (hal 39)
Restoran berasal dari bahasa Indonesia Resto, mendapat sufiks –an menjadi restorab. Restiran mendafat sufiks-an bermakna lokatif.
·         Ora mokal nemu lembaran sejarah Jawa akeh kang cathetan para calon raja.. (hal 41).
Lembaran berasal dari kata Bahasa Indonesia Lembar, mendapat tambahan sufiks –an menjadi lembaran.
·         wong-wong sikep mau milih mung mligi oleh tetanen menangka sumbering wulu pemetu... (hal 14)
Sumbering berasal dari kata Bahasa Indonesia sumberr, mendapat tambahan sufiks –ing menjadi sumbering.

·         Ngenut konsepsine MaX Weber ngenani otoritas, kang ngregem panguawasa ing jaman kerjaan.. (Hal.7)
konsepsine berasal dari kata Bahasa Indonesia konsep, mendapat tambahan sufiks –e menjadi konsepsine
·         Hebate maneh , dheweke bisa nungkulake raja kang katungkulane ora ruamngsa kasoran, malah kosok baline (hal 92).
Hebate  berasal dari kata Bahasa Indonesia hebat, mendapat tambahan sufiks
 –e menjadi hebate.
·         Umumue, muncule kembaran kang memba-memba iku bebarengan karo linggane tokoh sabenere. (hal 12)
Kembaran berasal dari kata Bahasa Indonesia kembar, mendapat tambahan sufiks –an menjadi kembaran.
3. penambahan prefiks
·         Nanging, “raja adil disembah, raja lalim disanggah” (hal 8)
Disanggah berasal dari kata Bahasa Indonesia sanggah, mendapat tambahan prefiks di-  menjadi disanggah.

4. penambahan konfiks
·         Saking lumrahe, tumindak ngapusi bisa kagolongake rong macem, yaiku ngapusi sing maton lan ngapusi sing ora maton. (Hal. 3)
Kagolongake berasal dari kata dasar bahasa Indonesia golong, mendapat konfiks ka-ake menjadi kagolongake.
·         Sing manud dhasar pembenaran. (Hal. 3)
Pembenaran berasal dari kata dasar bahasa Indonesia benar mendapat konfiks pe-an menjadi pembenaran..
·         Pembenaran kala-kala cedhak karo kebenaran. (Hal. 3)
kebenaran berasal dari kata dasar bahasa Indonesia benar, mendapat konfiks ka-an menjadi kebenaran.
·         Saking ilange kapercayan iku uga isih sok kandheg lan kalindih dening rasa tepa selira lan usus dawa. (Hal. 3)
kapercayan berasal dari kata dasar bahasa Indonesia percaya, mendapat konfiks ka-an menjadi kapercayan.
·         Sebab, luwih akeh sing nganggep kekalahan mau dudu minangka kenyataan sing diadhepi lan ditampa kanthi lila legawa. (hala 12)
kekalahan berasal dari kata dasar bahasa Indonesia kalah, mendapat konfiks ka-an menjadi kekalahan.
kenyataan berasal dari kata dasar bahasa Indonesia nyata, mendapat konfiks ka-an menjadi kenyataan..
·         Semara minangka Jawata kang ngejawantah ora bakal kasmaran (hal 17)
Kasmaran berasal dari kata dasar bahasa Indonesia asmara  mendapat konfiks ka-an menjadi kasmaran.
·         Ewasemana, marang kang kembar, pancen kewaspadan kudu diundhakake. (hal 19)
Kawaspadan berasal dari kata dasar bahasa Indonesia waspada,  mendapat konfiks ka-an  menjadi kawaspadan.



5. reduplikasi
·         Siji mulak kang ateges awas lan ngati-ati kanthi tansah waspada marang punggawa... (Hal. 8)
Ngati-ati merupakan reduplikasi dari kata bahasa Indonesia hati-hati, mengalami reduplikasi menjadi ngati-ati.
·         Sawetara gelar-gelar  menika namung asipat sosiokultural. (hal 19)
Gelar-gelar merupakan reduplikasi dari kata bahasa Indonesia gelar, mengalami reduplikasi menjadi gelar-gelar.
2. Faktor Penyebab.
Penulis menyimpulkan berdasarkan uraian di atas bahwa adanya interferensi bahasa indonesia dipengaruhi beberpa faktor yaitu
a. Menghormati pembaca
b. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan Nasional.
c. kebiasaan penutur dalm pergaulan agar terlihat berkelas.
d. Sulit mencari padadan kata di dalam bahasa Jawa.




BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasrakan pembahasan yang telah dilakukakn penulis dapat disimpulkan bahawa dalam buku Wong Jawa kok (ora) Ngapusi  terdapat interferensi bahasa Indonesia ke dalam bhasaa Jawa secara morologis. Interferensi morfologisnya berupa afiks, sufiks, konfiks, dan reduplikasi.
Sementar faktor yang mempengaruhi adanya interferensi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa diantaranya
a. Menghormati pembaca
b. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan Nasional.
c. kebiasaan penutur dalm pergaulan agar terlihat berkelas.
d. Sulit mencari padadan kata di dalam bahasa Jawa.

B. SARAN
Diharapkan penelitian ini mammpu menambah pengetahuan pembaca terkait interferensi morfologis serta menjadikannnya materi pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1997. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka    Cipta.
Purnomo, Sucipto Hadi. 2011. Wong Jawa kok (Ora) Ngapusi. Semarang : CPNS.
Rokhman, Fathur. 2008. Silabus dan Hand Out Sosiolinguistik. Semarang: Unnes.
Setiyowati, Avid. 2008. Interferensi Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa dalam Bahasa  Indonesia pada Kolom “Piye Ya?” Harian Suara Merdeka. Semarang : UNDIP
Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset Solo.





1 komentar: