Ketika
saya duduk di SD (Sekolah Dasar), guru saya sering bilang kalau Indonesia itu
negara Maritim. Maritim karena katanya
sebagian besar wilayahnya terdiri atas laut. Sebagai anak SD polosan saya
malahan tidak percaya, karena tempat tinggal saya, Kudus, tak ada laut meskipun
dalam lingkaran pantura (pantai utara Jawa). Barulah setelah lama ngeyel, saya baru menurut dan mempercayai
ucapan guru saya tersebut, itupun karena ditunjukkan peta Indonesia.
Prof. Arysio santos dalam bukunya Atlantis The Continent Finally Found
juga mengungkapkan wilayah Indonesia terdiri atas 70% lautan dan 30% daratan.
Bahkan dia menduga jikalau Indonesia merupakan negri Atlantis yang hilang, Atlantis negri yang amat subur
dan makmur tetapi tiba-tiba hilang terkena bencana. Apalagi sejarah mencatat
bahwa kerajaan Sriwijaya tersohor akan kekuatan maritimnya. Jadi bagaimana
tidak mu
ngkin
jika Prof. Santos itu bisa saja benar?
Nah,tapi entah mengapa waktu dewasa
ini mulai bimbang lagi. Toh, sudah berulang kali melihat peta tidak
mempengaruhi pikiran saya kali ini. Bagaimana tidak, jika garam saja impor,
masih pantaskah disebut negara maritim, ini sama saja ironi impor beras di
negeri agraris bukan? Fakta yang menyakitkan lagi, ternyata dengan laut
melimpah kita pun masih tidak mampu sekadar berbangga dan menjaganya, kerusakan
ekosistem laut semakin parah akibat ulah manusia-manusia Indonesia.
Abrasi melanda Pantura
keruskan ekosistem laut
yang nyata sekarang adalah abrasi, menurut KBBI abrasi merupakan pengikisan batuan oleh air, es, atau angin yg
mengandung dan mengangkut hancuran bahan. Abrasi ini terjadi karena semakin
berkurangnya hutan mangrove sehingga dapat mengikis daratan, tentu saja ini
akibat ulah manusia yang semena-mena menebang bakau untuk lahan pertambakan
misalnya. Guru Besar Ilmu Teknik Pengairan Unisula Semarang, Slamet Imam
Wahyudi dalam wawancaranya dengan Media Indonesia mengungkapkan, “96% hutan
mangrove rusak di sepanjang pantura. Hal itu akibat terseret gelombang dan akibat
ulah manusia yang melakukan penebangan liar untuk areal pertambakan.”
Abrasi di pantura sudah
mengkhawatirkan sekarang. Seperti yang diungkapkan dalam mediaIndonesia.com bahwa abrasi pantura telah melenyapkan areal dari
Brebes-Rembang lebih dari 4000 hektare. Abrasi terparah di Jepara dengan
daratan yang hilang dan rusak tercatat 1.125 ha. Kemudian Brebes 818 ha,
Pemalang 445 ha, dan Brebes 300 ha. Jika dira-rata setidaknya memang ada 5-30
meter daratan yang hilang dari bibir pantai.
Kerusakan
akibat abrasi memang nyata, saya pernah berkunjung ke daerah teman di Demak,
tepatnya desa Tambaksari yang kini sudah lenyap tertelan abrasi. Tambaksari merupakan kawasan lahan basah di
perbatasan Kota Semarang dengan Kabupaten Demak. Katanya dulu Tambaksari
merupakan daerah pertambakan, vegetasi mangrove, dan pemukiman warga. Saya
tidak dapat melihat yang dikatakan teman saya tersebut, nyatanya hanya ada
rumah-rumah kumuh nan kosong, perahu rusak di pinggir tambak, dan air yang
merendam pemukiman. Kini, abrasi sekian lama akhirnya menghilangkan daerah
tersebut, bahkan penduduknya terpaksa berpindah pemukiman ke Purwosari. Sedangkan,lokasi
tambaksari yang dtinggalkan hanya menyisakan beberapa keluarga dengan ancaman abrasi
setiap saat.
“Dulu Tambaksari adalah
desa nelayan yang makmur dengan hasil tangkapan ikan yang melimpah,” Kenang
Shohibin, warga Tambaksari.
Bangunan
yang tersisa di Tambaksari adalah makam di lepas pantai yang dihubungkan dengan
jembatan dari kayu dan beton. Bangunan di ujung pantai desa itu menjulang di
tengah-tengah pantai yang menjorok ke laut. Bangunan itu adalah makam KH.
Mudzakir, penyiar Islam sekaligus sesepuh desa Bedono di era Kerajaan demak.
Makam yang berada di tengah laut mengundang decak kagum bagi siapa saja yang
melihatnya. Kini, Tambaksari
banyak dikunjungi warga, sekdar ingin melihat cerita keganasannya ataupun penasaran dengan makam tersisa yang banyak dibuah
bibirkan orang.
Mangrove untuk
semua
Pramuka itu
cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, itu ikrar dasa darma yang dapat
direlisasikan melalui gerakan nyata menyelamatkan pesisir pantura. Boden Powell
mungkin memang menginspirasi, salah satunya dengan gerakan sadar menanam
mangrove dan mengembalikan fungsi aslinya oleh para aktivis pramuka. Paling
tidak setahun sekali, pramuka khususnya Racana Wijaya Universitas Negeri
Semarang melalui bidang Abdimasgama (Pengabdian Masyrakat dan Agama) juga turut
serta melakukan penanaman pohon termasuk mangrove di pesisir pantai Semarang.
Disadari, hutan mangrove memang investasi jangka panjang,
selain mencegah abrasi, aspek biologi dan ekonomisnya tempat bekembangnya udang,
ikan, dan kepiting. Adapun aspek kimiawinya mampu menyerap polutan, udara yang
mengandung CO2 mampu dinetralisir menjadi Oksigen. Namun jika
hutannya gundul yang terjadi sebaliknya, CO2 akhirnya berubah enjadi
polutan yang merugikan.
Sebenarnya tak hanya Pramuka, banyak aktivis pecinta alam
yang mulai gencar melakukan gerkan penanaman mangrove di lingkungan
masing-masing. Ini langkah baik yang sebenarnya harus ditularkan ke semua
kalangan. Tak hanya pemerintah, masyarakat biasa pun harus mulai tergerak dan
sadar akan bahaya abrasi dan cara mencegahnya. Mari selamatkan laut kita dari
bahaya abrasi!
0 komentar:
Posting Komentar