Pages

Ads 468x60px

Kamis, 10 Juli 2014

Sebatang Mangrove untuk PANTURA


            Ketika saya duduk di SD (Sekolah Dasar), guru saya sering bilang kalau Indonesia itu negara Maritim.  Maritim karena katanya sebagian besar wilayahnya terdiri atas laut. Sebagai anak SD polosan saya malahan tidak percaya, karena tempat tinggal saya, Kudus, tak ada laut meskipun dalam lingkaran pantura (pantai utara Jawa). Barulah setelah lama ngeyel, saya baru menurut dan mempercayai ucapan guru saya tersebut, itupun karena ditunjukkan peta Indonesia.
            Prof. Arysio santos dalam bukunya Atlantis The Continent Finally Found juga mengungkapkan wilayah Indonesia terdiri atas 70% lautan dan 30% daratan. Bahkan dia menduga jikalau Indonesia merupakan negri Atlantis  yang hilang, Atlantis negri yang amat subur dan makmur tetapi tiba-tiba hilang terkena bencana. Apalagi sejarah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya tersohor akan kekuatan maritimnya. Jadi bagaimana tidak mu
ngkin jika Prof. Santos itu bisa saja benar?
            Nah,tapi entah mengapa waktu dewasa ini mulai bimbang lagi. Toh, sudah berulang kali melihat peta tidak mempengaruhi pikiran saya kali ini. Bagaimana tidak, jika garam saja impor, masih pantaskah disebut negara maritim, ini sama saja ironi impor beras di negeri agraris bukan? Fakta yang menyakitkan lagi, ternyata dengan laut melimpah kita pun masih tidak mampu sekadar berbangga dan menjaganya, kerusakan ekosistem laut semakin parah akibat ulah manusia-manusia Indonesia.

Abrasi melanda Pantura
            keruskan ekosistem laut yang nyata sekarang adalah abrasi, menurut KBBI abrasi merupakan  pengikisan batuan oleh air, es, atau angin yg mengandung dan mengangkut hancuran bahan. Abrasi ini terjadi karena semakin berkurangnya hutan mangrove sehingga dapat mengikis daratan, tentu saja ini akibat ulah manusia yang semena-mena menebang bakau untuk lahan pertambakan misalnya. Guru Besar Ilmu Teknik Pengairan Unisula Semarang, Slamet Imam Wahyudi dalam wawancaranya dengan Media Indonesia mengungkapkan, “96% hutan mangrove rusak di sepanjang pantura. Hal itu akibat terseret gelombang dan akibat ulah manusia yang melakukan penebangan liar untuk areal pertambakan.”
            Abrasi di pantura sudah mengkhawatirkan sekarang. Seperti yang diungkapkan dalam mediaIndonesia.com bahwa abrasi pantura telah melenyapkan areal dari Brebes-Rembang lebih dari 4000 hektare. Abrasi terparah di Jepara dengan daratan yang hilang dan rusak tercatat 1.125 ha. Kemudian Brebes 818 ha, Pemalang 445 ha, dan Brebes 300 ha. Jika dira-rata setidaknya memang ada 5-30 meter daratan yang hilang dari bibir pantai.
           
            Kerusakan akibat abrasi memang nyata, saya pernah berkunjung ke daerah teman di Demak, tepatnya desa Tambaksari yang kini sudah lenyap tertelan abrasi.  Tambaksari merupakan kawasan lahan basah di perbatasan Kota Semarang dengan Kabupaten Demak. Katanya dulu Tambaksari merupakan daerah pertambakan, vegetasi mangrove, dan pemukiman warga. Saya tidak dapat melihat yang dikatakan teman saya tersebut, nyatanya hanya ada rumah-rumah kumuh nan kosong, perahu rusak di pinggir tambak, dan air yang merendam pemukiman. Kini, abrasi sekian lama akhirnya menghilangkan daerah tersebut, bahkan penduduknya terpaksa berpindah pemukiman ke Purwosari. Sedangkan,lokasi tambaksari yang dtinggalkan hanya menyisakan beberapa keluarga dengan ancaman abrasi setiap saat.
 “Dulu  Tambaksari adalah desa nelayan yang makmur dengan hasil tangkapan ikan yang melimpah,” Kenang Shohibin, warga Tambaksari.
            Bangunan yang tersisa di Tambaksari adalah makam di lepas pantai yang dihubungkan dengan jembatan dari kayu dan beton. Bangunan di ujung pantai desa itu menjulang di tengah-tengah pantai yang menjorok ke laut. Bangunan itu adalah makam KH. Mudzakir, penyiar Islam sekaligus sesepuh desa Bedono di era Kerajaan demak. Makam yang berada di tengah laut mengundang decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya. Kini, Tambaksari banyak dikunjungi warga, sekdar ingin melihat cerita keganasannya ataupun penasaran dengan makam tersisa yang banyak dibuah bibirkan orang.
Mangrove untuk semua
Pramuka itu cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, itu ikrar dasa darma yang dapat direlisasikan melalui gerakan nyata menyelamatkan pesisir pantura. Boden Powell mungkin memang menginspirasi, salah satunya dengan gerakan sadar menanam mangrove dan mengembalikan fungsi aslinya oleh para aktivis pramuka. Paling tidak setahun sekali, pramuka khususnya Racana Wijaya Universitas Negeri Semarang melalui bidang Abdimasgama (Pengabdian Masyrakat dan Agama) juga turut serta melakukan penanaman pohon termasuk mangrove di pesisir pantai Semarang.
            Disadari, hutan mangrove memang investasi jangka panjang, selain mencegah abrasi, aspek biologi dan ekonomisnya tempat bekembangnya udang, ikan, dan kepiting. Adapun aspek kimiawinya mampu menyerap polutan, udara yang mengandung CO2 mampu dinetralisir menjadi Oksigen. Namun jika hutannya gundul yang terjadi sebaliknya, CO2 akhirnya berubah enjadi polutan yang merugikan.

            Sebenarnya tak hanya Pramuka, banyak aktivis pecinta alam yang mulai gencar melakukan gerkan penanaman mangrove di lingkungan masing-masing. Ini langkah baik yang sebenarnya harus ditularkan ke semua kalangan. Tak hanya pemerintah, masyarakat biasa pun harus mulai tergerak dan sadar akan bahaya abrasi dan cara mencegahnya. Mari selamatkan laut kita dari bahaya abrasi!

0 komentar:

Posting Komentar