Ringkasan :
Indonesia
merupakan negara multikultural, keberagaman budaya inilah yang memberikan
identitas dan jati diri bagi bangsa. Budaya Jawa merupakan salah satu budaya
yang adiluhung dengan segala nilai-nilai yang terkadung di dalamnya, bahasa
Jawa dan berbagai kesenian Jawa
merupakan warisan budaya yang harus tetap diuri-uri
(dijaga) agar tetap lestari. Terancam dihilangkannya bahasa Jawa dalam
kurikulum 2013 membuat kekhawatiran berbagai pihak akan nasib budaya Jawa,
apalagi tidak dipungkiri jika kecintaan generasi penerus akan budaya tersebut
amat kurang, oleh karena itu perlunya kesadaran dari generasi pemuda khususnya
untuk nguri-uri budaya Jawa sebagai
identitas bangsa Indonesia.
Bahasa Jawa, Kemanakah?
Ilmu iku kalakone
kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyanthosani
Setya budya pengekese
Dur angkara
Sepenggal tembang pocung itu masih memutar memori saya dua tahun yang lalu
akan eksistensi jurusan saya. Masih lekat, kala itu jurusan saya bahasa dan
Sastra Jawa merupakan jurusan yang paling diminati. Alih-alih karena cinta
budaya, mungkin ada tapi beberapa dari sekian banyak, pernyataan pemerintah
Jawa Tengah melalui titah perda no. 9
th 2012 nyatanya memang mewajibkan bahasa Jawa diajarkan di setiap jenjang
pendidikan. Mulai dari SD, SMP, SMA merekrut banyak guru bahasa Jawa untuk
memenuhi titah-tinitah sang pembuat
kebijakan, tak ayal jurusan satu itu menjadi jurusan paling “menjanjikan” masa
depannya.
Sekarang, dua tahun setelahnya
Mendikbud M.Nuh membuat kejutan baru untuk dunia pendidikan Indonesia,
kurikulum 2013. Kurikulum ini (katanya)
merupakan penyempurnaan dari sembilan sebelumnya, penekanan pembentukan
karakter pun dijadikan icon. Namanya
juga icon, karakter inilah yang diharuskan
muncul di setiap mata pelajaran. Namun ironis, dengan “karakter” yang
diunggulkan nyatanya tidak cukup mampu memepertahankan bahasa Jawa sebagai muatan
lokal di kurikulum tersebut. Lebih, malah bahasa Jawa diintegrasikan dengan
mapel Seni Budaya dan Prakarya. Hal ini tentunya menjadi keresahan banyak pihak
terutama guru pengampu bahasa Jawa karena berdampak pada pengurangan jam
mengajar mereka. Bahkan telah ada beberapa sekolah di Jawa Tengah yang benar-benar
menghapuskan mapel tersebut dari pengajaran. Tak kalah panik, para mahasiswa di
Jurusan Bahasa dan sastra jawa juga seolah mempertanyakan bagaimana nasib
mereka setah lulus.
Lebih, sebenarnya ada hal lain yang
lebih urgent dari hal di atas,
budaya. lantas bagaimana nasib budaya Jawa? akan ditempatkan dimanakah budaya
yang adiluhung ini? Bukankah dengan menghilangkan muatan lokal sebagai potensi
daerah, khususnya bahasa Jawa sama saja sedikit demi sedikit melunturkan jati
diri kita? darimana budaya ini akan diwariskan kepada penerus kita jika tidak
dijarkan melalui pendidikan?
Budaya Jawa, Kunokah?
Jika mendengar tentang gamelan, wayang,
dan bahasa jawa mungkin yang terlintas bagi kebanyakan orang adalah kuno, ndesa, dan tidak modern. Padahal *School of Oriental and African School (SOAS)
di London telah menetapkan bahasa Jawa sebagai bahasa yang wajib dipelajari
mahasiswanya. Bahkan berdasarkan Summer
Institue for linguistics (SIL) Ethnology
Survey 2011 menyatakan bahwa bahasa Jawa telah digunakan 77,75 juta orang
di dunia, melebihi bahasa Korea yang hanya 76,5 juta orang atau bahasa Perancis
yang dipakai 76 juta orang saja.
Dosen saya juga sering bercerita
pengalamannya ketika diundang mempertunjukkan kesenian gamelan di Perancis. Ternyata
warga Perancis begitu bangga dan mencintai kesenian tersebut, tak hanya itu
mereka juga khusus datang ke kampus kami untuk belajar budaya Jawa seperti
gamelan dan wayang. Kegigihan mereka dalam belajar itulah yang sering membuat
dosen saya malu sehingga mengembleng kami dengan keras saat ngrawit (memainkan gamelan), sering ia
berteriak, “Ayo padha temenan cah,mosok
karo Londo Perancis Kalah!” (“ayo
latiahan yang serius, masa dengan bule Perancis kalah kalian!”). Ya, dia
memang sangat prihatin dengan kondisi ini, pasalnya mahasiswa perancis tersebut
sangat gigih dalam belajar ngrawit,
bahkan hingga tidur di samping gamelan. Sedangkan kami, orang Jawa (katanya) sendiri
malah tidak njawani dan menyepelekan
budaya tersebut.
Selain
itu, saya juga memiliki teman pertukaran pelajar dari Jepang, Ai-Chan namanya.
Sama seperti mahasiswa dari Perancis, dia pun datang kesini untuk belajar
kesenian Jawa. Malahan begitu senangnya dia belajar kesenian ini, dia bahkan
berniat memerpanjang masa tinggalnya di Indonesia lebih lama, ironi bukan? Saya
yakin di samping mereka pasti ada mahasiswa asing lain yang juga belajar dan
sangat mencintai budaya ini lebih dari kita, sebagai pemiliknya. Jika mereka
saja begitu cinta bagaimana dengan wujud cinta kita?
Apakah kita akan menunggu hingga
budaya Jawa ini diakui oleh negara lain? Apakah harus terulang dengan “Reog
Ponorogo” hingga pemerintah mau turun tangan? Hal ini tidak mustahil jika kita diam dan
tidak nguri-uri budaya tersebut .
Lebih ironis, naskah-naskah kuno sastra Jawa hanya ada di Belanda bukan di Jawa
Indonesia. Perlu berapa bukti lagi jika bahasa dan budaya Jawa itu harus kita
selamatkan, bukti sebagai negara yang berbudaya.
Konservasi
Budaya
Saya cukup berbangga,
bukan dengan pemerintah yang terkesan melunturkan budaya Jawa, tetapi pada
institusi saya, setidaknya Universita Negeri Semarang (Unnes) sebagai
universitas Konservasi cukup berkomitmen. Tidak hanya dengan konservasi
lingkungan, begitupun dengan budaya. Konservasi budaya berarti suatau usaha
nyata untuk melestarikan budaya lokal, melalui berbagai kegiatan yang tidak
meningglkan unsur budaya agar tetap eksis di kalangan mahasiswa dan masyarakat
sekitar. Bahkan Unnes membuat gending
(lagu) untuk senam koservasi, lagu senam dengan iringan tembang jawa tersebut mungkin satu-satunya di Indonesia.
Selain itu, mahasiswa bahasa dan
Sastra jawa juga turut andil dalam nguri-nguri
budaya tersebut melalui sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa.
berbagai kegiatan seperti karawitan,
kethoprak, panembrama (bermain gamelan, drama klasik dalam bahasa Jawa,
paduan suara dalam bahasa Jawa) kami lakukan untuk mengenalkan kesenian Jawa
agar tetap lestari.
Sebagai generasi muda yang akan
mewarisi kepemimpinan di masa mendatang, tentunya kita harus tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai kebudayaan daerah agar jati diri bangsa kita tidak luntur
dan tetap menjadi bangsa berbudaya.
0 komentar:
Posting Komentar