Pages

Ads 468x60px

Kamis, 10 Juli 2014

Budaya Jawa, Kemanakah?







Ringkasan :
Indonesia merupakan negara multikultural, keberagaman budaya inilah yang memberikan identitas dan jati diri bagi bangsa. Budaya Jawa merupakan salah satu budaya yang adiluhung dengan segala nilai-nilai yang terkadung di dalamnya, bahasa Jawa  dan berbagai kesenian Jawa merupakan warisan budaya yang harus tetap diuri-uri (dijaga) agar tetap lestari. Terancam dihilangkannya bahasa Jawa dalam kurikulum 2013 membuat kekhawatiran berbagai pihak akan nasib budaya Jawa, apalagi tidak dipungkiri jika kecintaan generasi penerus akan budaya tersebut amat kurang, oleh karena itu perlunya kesadaran dari generasi pemuda khususnya untuk nguri-uri budaya Jawa sebagai identitas bangsa Indonesia.














Bahasa Jawa, Kemanakah?
Ilmu iku kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyanthosani
Setya budya pengekese
Dur angkara
            Sepenggal tembang pocung itu masih memutar memori saya dua tahun yang lalu akan eksistensi jurusan saya. Masih lekat, kala itu jurusan saya bahasa dan Sastra Jawa merupakan jurusan yang paling diminati. Alih-alih karena cinta budaya, mungkin ada tapi beberapa dari sekian banyak, pernyataan pemerintah Jawa Tengah melalui titah perda no. 9 th 2012 nyatanya memang mewajibkan bahasa Jawa diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Mulai dari SD, SMP, SMA merekrut banyak guru bahasa Jawa untuk memenuhi titah-tinitah sang pembuat kebijakan, tak ayal jurusan satu itu menjadi jurusan paling “menjanjikan” masa depannya.
            Sekarang, dua tahun setelahnya Mendikbud M.Nuh membuat kejutan baru untuk dunia pendidikan Indonesia, kurikulum 2013. Kurikulum  ini (katanya) merupakan penyempurnaan dari sembilan sebelumnya, penekanan pembentukan karakter pun dijadikan icon. Namanya juga icon, karakter inilah yang diharuskan muncul di setiap mata pelajaran. Namun ironis, dengan “karakter” yang diunggulkan nyatanya tidak cukup mampu memepertahankan bahasa Jawa sebagai muatan lokal di kurikulum tersebut. Lebih, malah bahasa Jawa diintegrasikan dengan mapel Seni Budaya dan Prakarya. Hal ini tentunya menjadi keresahan banyak pihak terutama guru pengampu bahasa Jawa karena berdampak pada pengurangan jam mengajar mereka. Bahkan telah ada beberapa sekolah di Jawa Tengah yang benar-benar menghapuskan mapel tersebut dari pengajaran. Tak kalah panik, para mahasiswa di Jurusan Bahasa dan sastra jawa juga seolah mempertanyakan bagaimana nasib mereka setah lulus.
            Lebih, sebenarnya ada hal lain yang lebih urgent dari hal di atas, budaya. lantas bagaimana nasib budaya Jawa? akan ditempatkan dimanakah budaya yang adiluhung ini? Bukankah dengan menghilangkan muatan lokal sebagai potensi daerah, khususnya bahasa Jawa sama saja sedikit demi sedikit melunturkan jati diri kita? darimana budaya ini akan  diwariskan kepada penerus kita jika tidak dijarkan melalui pendidikan?
Budaya Jawa, Kunokah?
            Jika mendengar tentang gamelan, wayang, dan bahasa jawa mungkin yang terlintas bagi kebanyakan orang adalah kuno, ndesa, dan tidak modern. Padahal *School of Oriental and African School (SOAS) di London telah menetapkan bahasa Jawa sebagai bahasa yang wajib dipelajari mahasiswanya. Bahkan berdasarkan Summer Institue for linguistics (SIL) Ethnology Survey 2011 menyatakan bahwa bahasa Jawa telah digunakan 77,75 juta orang di dunia, melebihi bahasa Korea yang hanya 76,5 juta orang atau bahasa Perancis yang dipakai 76 juta orang saja.
            Dosen saya juga sering bercerita pengalamannya ketika diundang mempertunjukkan kesenian gamelan di Perancis. Ternyata warga Perancis begitu bangga dan mencintai kesenian tersebut, tak hanya itu mereka juga khusus datang ke kampus kami untuk belajar budaya Jawa seperti gamelan dan wayang. Kegigihan mereka dalam belajar itulah yang sering membuat dosen saya malu sehingga mengembleng kami dengan keras saat ngrawit (memainkan gamelan), sering ia berteriak, “Ayo padha temenan cah,mosok karo Londo Perancis Kalah!” (“ayo latiahan yang serius, masa dengan bule Perancis kalah kalian!”). Ya, dia memang sangat prihatin dengan kondisi ini, pasalnya mahasiswa perancis tersebut sangat gigih dalam belajar ngrawit, bahkan hingga tidur di samping gamelan. Sedangkan kami, orang Jawa (katanya) sendiri malah tidak njawani dan menyepelekan budaya tersebut.
             Selain itu, saya juga memiliki teman pertukaran pelajar dari Jepang, Ai-Chan namanya. Sama seperti mahasiswa dari Perancis, dia pun datang kesini untuk belajar kesenian Jawa. Malahan begitu senangnya dia belajar kesenian ini, dia bahkan berniat memerpanjang masa tinggalnya di Indonesia lebih lama, ironi bukan? Saya yakin di samping mereka pasti ada mahasiswa asing lain yang juga belajar dan sangat mencintai budaya ini lebih dari kita, sebagai pemiliknya. Jika mereka saja begitu cinta bagaimana dengan wujud cinta kita?
            Apakah kita akan menunggu hingga budaya Jawa ini diakui oleh negara lain? Apakah harus terulang dengan “Reog Ponorogo” hingga pemerintah mau turun tangan?  Hal ini tidak mustahil jika kita diam dan tidak nguri-uri budaya tersebut . Lebih ironis, naskah-naskah kuno sastra Jawa hanya ada di Belanda bukan di Jawa Indonesia. Perlu berapa bukti lagi jika bahasa dan budaya Jawa itu harus kita selamatkan, bukti sebagai negara yang berbudaya.

            Konservasi Budaya
            Saya cukup berbangga, bukan dengan pemerintah yang terkesan melunturkan budaya Jawa, tetapi pada institusi saya, setidaknya Universita Negeri Semarang (Unnes) sebagai universitas Konservasi cukup berkomitmen. Tidak hanya dengan konservasi lingkungan, begitupun dengan budaya. Konservasi budaya berarti suatau usaha nyata untuk melestarikan budaya lokal, melalui berbagai kegiatan yang tidak meningglkan unsur budaya agar tetap eksis di kalangan mahasiswa dan masyarakat sekitar. Bahkan Unnes membuat gending (lagu) untuk senam koservasi, lagu senam dengan iringan tembang jawa tersebut mungkin satu-satunya di Indonesia.      
            Selain itu, mahasiswa bahasa dan Sastra jawa juga turut andil dalam nguri-nguri budaya tersebut melalui sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa. berbagai kegiatan seperti karawitan, kethoprak, panembrama (bermain gamelan, drama klasik dalam bahasa Jawa, paduan suara dalam bahasa Jawa) kami lakukan untuk mengenalkan kesenian Jawa agar tetap lestari.

            Sebagai generasi muda yang akan mewarisi kepemimpinan di masa mendatang, tentunya kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan daerah agar jati diri bangsa kita tidak luntur dan tetap menjadi bangsa berbudaya. 

0 komentar:

Posting Komentar