Pages

Ads 468x60px

Kamis, 10 Juli 2014

“Eksistensi Wanita dalam Serat Wulang Reh Putri

ARTIKEL BUDAYA
“Eksistensi Wanita dalam Serat Sang Sultan :
Pandangan Pakubuwono X dalam Serat Wulang Reh Putri, Pupuh Kinanthi”
Disusun sebagai pengganti Ujian Akhir Semester mata kuliah : Ilmu Budaya
Dosen Pengampu : Sucipto Hadi Purnomo




Disusun Oleh
Nama          : Charisfa Nuzula
Nim             :  2601411142
Rombel       : 05






BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA  DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014


Dene ta pitutur ingsun / marang putraningsun estri / den eling ing aranira / sira pan ingaran putri / puniku putri kang nyata / tri tetelu tegesneki //
Bekti nastiti ing kakung / kaping telune awedi / lahir batin aja esah / anglakoni satuhuning / laki ciptanen bendara / mapan wong wadon puniki //

Sepenggal larik dari Serat Wulang Reh Putri (SWRP) mengingatkan saya eksistensi wanita dalam imaji Pakubuwono X. Serat ini merupakan salah satu ajaran tentang hidup berumah tangga, atau lebih tepatnya ajaran kepada seorang wanita tentang kewajibannya sebagai seorang isteri yang mendampingi suami. Serat ini memang ditulis Pakubuwono X, seorang raja yang adiluhung, Ia yang juga seorang ayah khawatir kepada putri-putrinya kelak akan mendapat kesulitan saat berumahtangga. Sebagai seorang putri raja, tentulah kemewahan bisa diperoleh mereka, namun saat kelak berumahtangga belum tentu sama kondisinya dengan keraton.
            Raja yang dianggap sebagai pusat “kosmos”, pastilah membawa dampak yang luas bagi masyarakat ,hal ini menjadikan segala yang keluar dari mulut Raja merupakan sebuah titah. Sama halnya dengan ajaran SWRP yang pada awalnya diperuntukkan bagi putri-putrinya lambat laun akhirnya menyebar kepada masyarakat luas, apalagi keraton merupakan pusat dari kegiatan kala itu, tentulah informasi mudah keluar masuk ke masyrakat. Pada kenyataannya SWRP memang berisi ajaran yang baik bagi wanita tentang hidup berumahtangga kala itu, tidak hanya bagi putridraja saja, namun bisa dipelajari semua wanita paad umumnya.  Namun kemudian muncul pertanyaan dari diri saya sendiri,” masih relevankah SWRP bagi kondisi masyarakat sekarang dan bagaimana manfaat yang sesungguhnya dari SWRP itu???
            Wanita semenjak berikrar dengan label barunya yaitu emansipasi, peran wanita zaman sekarang memang telah berbeda dengan zaman dahulu, khususnya pada lingkungan keraton. Peran wanita kini lebih kompleks dan ingin disejajarkan dengan pria, jika dahulu pekerja kebanyakan adalah pria, maka sekarang waita juga tampil ambil peran. Sebut saja Megawati yang menjadi presiden wanita pertama di Indonesia, Sri Mulyani pernah menjabat Menteri Ekonomi, dll. Hal ini menandakan bahwa wanita sekarang bahkan setara perannya dengan pria. Kemudian SWRP menjadi perlu dipelajari wanita modern di zaman sekarang agar tidak keblinger dan tetap pada koridor budaya Jawanya. Sikap dan pandangan hidup itu perlu dihayati agar para wanita tidak tercerabut dari akar budayanya ketika harus berhadapan dengan proses perubahan termasuk didalamnya arus globalisasi.
            Peran wanita yang menjadi sejajar dengan pria, malah menemui tantangan yang berlebih. Pasalnya wanita harus secara seimbang di posisi paling depan serta paling belakang dalam ruamh tangga. Hal ini artinya wanita berperan sebagi seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, serta sebagai seorang isteri yang berkewajiban melayani suaminya.
            Secara Visioner, PB X mengemukakan suatu pandangan yang berupa ajaran moral yang bermanfaat hingga kini bagi semua wanita. Lebih lanjut, peran wanita juga menjadi ganda seiring dengan titel barunya sebgai emansipator, yaitu peran Intern di dalam mengurus rumah tangga, dan peran ekstern di dalam sosial atau didalam lingkungan pekerjaannya.Oleh karena itu, wanita kini harus bijaksana dalam segala hal, termasuk mempelajari SWRP yang dijadikan pedoman dalam berumah tangga di zaman yang serba modern ini. Haruslah adanya kesadaran dari para wanita untuk meramu dan mengambil nilai-nilai dari ajaran-ajaran ini, maupun dari nilai luhur budaya jawa, yang masih bermanfaat hingga kini dan kedepannya.
            Walaupun peran wanita agak berbeda dengan zaman dahulu, namun secara kodrati peran wanita adalah sama. Wanita masih sebagai Ibu dan Isteri yang harus terampil dan pandai dalam mengurus rumah tangga. Ajaran moral mengenai hal tersebut dijelaskan dalam SWRP khususnya pada pupuh Kinanthi, dalam pupuh tersebut dijelaskan bahwa seorang wanita wajib mengabdi dan  tunduk kepada suaminya setinggi apapun derajadnya. Dijelaskan pula perilaku seorang isteri seperti jari lima yaitu jempol,panudhuh, penunggu, manis, dan jenthik. Kelima jari tersebut meiliki peran melayani suami dengan sepenuh hati, menjadi petunjuk, bersikap manis,serta terampil dalam mngurus suami. Pada intinya adalah ajaran ini bertujuan memberi bekal dan pendidikan tentang perkawinan, tentu saja sampai kapanpun serat ini masih berlaku, karena pada dasranya peran wanita tidkalah berubah dan masih sama sebagai seorang isteri meski zaman mulai berubah ke arus globalisasi.

            Hemat saya, SWRP sangat  bermanfaat bagi wanita untuk masa kini maupun masa yang akan mendatang. Bagi masa kini, SWRP digunakan sebagai pedoman ditengah arus modernitas yang semakin mengikis nilai-nilai moral budaya. Di masa yang akan datang SWRP merupakan benteng, aga para wanita masih sadar akan kodratnya yaitu sebgai seorang ibu dan isteri yang harus mengabdi dan melayani suami sepenuh hati di tengah globalisasi. Adanya serat ini, apalagi dengan dipeajarinya piwulang ini juga merupakan sebagi upaya nguri-uri  budaya leluhur kita,yaitu budaya jawa yang “adiluhung”, yang merupakan identitas kita sebagai bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar